Sebuah Episode sejarah yang menarik ketika Jepang menyerah dengan sekutu pada perang dunia ke-2. Hirohito-Kaisar Jepang pada masa itu, memanggil para pembantunya untuk berkumpul membicarakan masa depan negeri mereka pasca kekalahan di perang dunia ke-2 akibat dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pertanyaan yang diajukan pertama kali adalah “ada berapa guru yang tersisa saat ini?”
Suatu mukjizat yang terjadi dalam kasat mata. Bukan hanya perekonomian yang berkembang, tapi kini negara ini telah menjadi salah satu Negara dengan indeks pendidikan tertinggi di dunia.
Adalah harga mati bahwa pendidikan merupakan investasi jangka panjang tertingi. Fondasi suatu bangsa yang hasilnya baru bisa dinikmati beberapa dekade ke depan. Kita semua tahu dengan pendidikan, peradaban suatu bangsa akan terangkat. Bukan hanya infrastruktur, perekonomian bangsa juga akan terangkat dan berkembang. Maka, betapa ironinya jika ada suatu bangsa yang masih mencampakkan dunia pendidikan.
Pendidikan seharusnya sudah bisa dinikmati oleh siapapun dan kalangan manapun, mulai dari masyarakat finansial ke atas, tengah, ataupun bawah. Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan yang terbaik dan meningkatkan taraf hidup rakyatnya. Program wajib belajar 9 tahun dicanangkan sebagai bentuk pencitraan pentingnya pendidikan. Namun, program ini tidak diimbangi dengan keterjangkauannya yang tidak dapat dicapai oleh masyarakat kecil.
Di tengah tingginya apresiasi masyarakat terhadap pentingnya pendidikan, nampaknya direspon oleh institusi-institusi pendidikan dengan semangat kapitalistik. Seolah-olah negeri yang dibangun dengan uang rakyat ini dijadikan aset atau mesin uang. Pendidikan di negeri ini dijadikan komoditas dagang. Hanya orang-orang yang memiliki uang banyak yang dapat menikmati pendidikan layak. Hal ini menyebabkan masyarakat kecil hanya bisa menyekolahkan anak mereka di sekolah yang murah dengan kualitas rendah. Karena sekolah favorit memerlukan biaya yang cukup besar. Itulah negeri ini “harga banyak kualitas layak, harga murah kualitaspun rendah”.
Komersialisasi pendidikan telah menjadi hal yang lumrah di negeri ini. Subsidi dana BOS untuk SD dan SMP memang telah membebaskan rakyat dari biaya operasional. Tapi buku dan seragamnya? Kenapa justru menjadi semakin tambah banyak dan mahal? Itu hanya sederetan contoh kecil, belum lagi dengan UU BHP. Bagaimana mungkin institusi pendidikan di privatisasi? Walaupun UU BHP telah dibatalkan, namun nampaknya privatisasi pendidikan di negeri ini akan terus ada.
Privatisasi pendidikan tentu saja akan melepaskan negara dari tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya yaitu pendidikan. Dampak yang akan langsung terlihat adalah berkurangnya subsidi pendidikan, sehingga biaya pendidikan akan semakin mahal, sehingga biaya pendidikan akan semakin mahal. Dengan kondisi ini, tidak menutup kemungkinan pendidikan (tinggi) hanya akan menjadi sebuah khayalan bagi sebagian besar warganegara negeri ini. Akibatnya, presentase rakyat yang bodoh semakin tinggi, lalu dimanakah peran pemerintah?
Alangkah malangnya negeri ini, bukan hanya komersialisasi dan tingginya harga pendidikan. Tapi di tengah itu semua masih saja ada yang tidak peduli bahkan hilang akal sehatnya dengan melakukan tindak korupsi. Amanat undang-undang untuk menganggarkan 20 % APBN hanya terealisasikan 10,5 %. Padahal secara cermat alokasi 20 % APBN dapat mengatasi biaya pendidikan yang mahal. Tak bisakah mereka melihat, betapa banyak yang sengsara karena mereka.
Sebuah potret buram dunia pendidikan. Sungguh alangkah malang negeri ini,semoga secercah cahaya itu datang.
0 komentar:
Posting Komentar